gmnisumedang

Pejuang Pemikir-Pemikir Pejuang!

“Partai Politik : Berbenah atau Mati”

            Fenomena ramainya pasangan bakal calon bupati dan wakil bupati perseorangan yang mendaftar untuk bertarung dalam pemilihan bupati Garut baru-baru ini mengindikasikan semakin memudarnya peran partai politik dalam rekrutmen politik. Seperti yang diberitakan Pikiran Rakyat (13/5) sungguh fantastis dan di luar prediksi sebanyak 15 dari 22 bakal calon perseorangan bupati dan wakil bupati Garut yang mendaftar ke KPU lolos ke tahap verifikasi.

            Jumlah fantastis ini tidak lepas dari dibukanya keran calon independen dalam pilkada lewat UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 32 tahun 2004. Monopoli partai politikpun mulai dikurangi. Berkaca ke belakang, usulan calon perseorangan mencuat manakala masyarakat semakin meragukan kredibilitas partai politik dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat.

            Partai politik kerap hanya bermulut manis dalam kampanye namun absen dalam agregasi kepentingan. Sebagai rujukan, hasil penelitian Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan pada bulan Maret 2006 terhadap 1215 responden melansir sebanyak 48 persen responden menyatakan kinerja Parpol sudah baik, 28 persen buruk, dan selebihnya 24 persen responden menyatakan tidak tahu dengan kinerja Parpol. Barangkali, sudah waktunya parpol menjadikan fenomena maraknya calon perseorangan di Kabupaten Garut sebagai alarm untuk mulai berbenah.

Masyarakat Semakin Apatis

Menjadi sangat tidak menyenangkan bagi warga negara tatkala dipaksa memilih dari banyak calon yang tidak kredibel untuk menjadi pemimpin di daerahnya. Bagi beberapa kalangan akan memilih untuk tidak ikut memilih alias golput. Sementara tidak sedikit yang asal dalam memilih. Dan sisanya memilih siapa yang berani memberikan materi (baca: praktek politik uang).

Tidak dapat disalahkan manakala kebanyakan masyarakat menjadi pragmatis atau bahkan apatis. Kelemahannya terletak pada partai politik yang kian lama kian abai dengan figur pilihan masyarakat. Pasalnya, sudah bukan rahasia lagi, hasil survey elektabilitas kader kerap dipetieskan demi keinginan pimpinan partai. Di lain pihak, politik yang mahal cenderung mensyaratkan partai politik merekrut calon-calon berpenghasilan tinggi. Pada kondisi ini partai seakan-akan sedang bertransformasi menjadi jasa penyedia lapangan kerja. Layaknya pasar, seperti inilah praktek politik transaksional yang rentan menciptakan perilaku korup para pejabat politik.

Lantas, setelah terpilih, praktek korupsi justru marak dipamerkan di pelupuk mata khalayak ramai. Pasalnya, laporan Lembaga Survei Nasioal (LSN) melansir bahwa Demokrat menempati posisi pertama sebagai partai paling korup dengan presentase 70,4 persen, diikuti Partai Golkar di posisi kedua dengan 5,7 persen, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di tempat terakhir dengan 4,4 persen.

Setidaknya laporan ini mempertegas bahwa partai besar di negeri ini sudah tidak layak dipercaya. Ihwal ini semakin memperparah apatisme masyarakat terhadap politik. Alhasil, muncul anggapan siapapun yang terpilih tidak akan berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat. Lagi-lagi hal ini memicu semangat golput dan permisif akan praktek politik uang.

Sementara itu, ada banyak ajang pemilihan kepala daerah yang diwarnai oleh tingginya tingkat golput. Puncaknya, dalam pemilihan gubernur di Sumatera Utara dinyatakan bahwa tingkat partisipasi politik kurang dari 50 persen. Bahkan pada pilgub Jawa Barat baru-baru ini, golput juga terhitung tinggi hingga mencapai 36,3 persen dari jumlah Daftar Pemilih Tetap. Apapun alasannya, ini merupakan indikasi semakin apatisnya masyarakat dalam pesta demokrasi.

Di tingkat nasional data Lembaga Survei Indonesia (LSI) melansir bahwa ada trend kecenderungan golput yang meningkat. Pada Pemilu Legislatif 1999 jumlah golput hanya sebesar 6,3 persen. Pemilu 2004 menjadi sekitar 16 persen, dan pada Pemilu 2009 meningkat lagi menjadi 29,1 persen. Sudah barang tentu, partai politik sebagai linkage actor sedang berada di ujung tanduk.

Harus Berbenah

Sebagai linkage actor, partai politik bertugas menghubungkan masyarakat dan pemerintah. Tanpa kepercayaan masyarakat, partai politik di negara demokrasi tidak akan berguna dan segera mati. Namun, harus diakui tanpa pengorganisasian maka kedaulatan rakyatpun akan terancam. Memperjuangkan hak dan aspirasi akan efektif manakala diorganisasikan. Inilah tugas agregasi yang diemban partai politik itu sendiri. Lantas, agar peran ini tetap berlangsung maka partai politik perlu didesak untuk berbenah.

Hal ini dapat diawali dengan penghapusan oligarki partai, sembari mengoptimalkan fungsinya bagi kepentingan masyarakat. Di pihak lain, kepercayaan perlu dibangun lewat transparansi keuangan serta rekrutmen partai politik.

Di luar itu semua, terpilihnya calon pejabat politik baik lahir dari perut partai atau perseorangan akan ditentukan oleh masyarakat. Oleh karenanya membangun masyarakat cerdas demi pemimpin-pemimpin bernurani menjadi mutlak untuk dilakukan.

Junius Fernando S Saragih

Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fisip Unpad

Wakil Ketua Bidang Kaderisasi GmnI Cabang Sumedang

*) dimuat di koran Pikiran Rakyat

Tinggalkan komentar

Information

This entry was posted on Mei 23, 2013 by in Suara Umum.

Masukkan alamat surat elektronik Anda untuk mengikuti blog ini dan menerima pemberitahuan tentang tulisan baru melalui surat elektronik.

Bergabung dengan 50 ribu pelanggan lain

Visitors

free counters