gmnisumedang

Pejuang Pemikir-Pemikir Pejuang!

Bersatu Tidak Harus Menjadi Satu!

children-1309318_1280

 

Oleh : Yenglis Dongche*

Banyak orang meneriakkan persatuan. Tidak jarang yang hendak menyatukan entah itu soal pandangan agama, etika, moralitas, adat istiadat bahkan agama. Tidak salah bila ini hanya diletakkan pada tataran gagasan. Namun jika persatuan yang dimaksudkan merupakan gagasan soal Keindonesiaan, nampaknya penting untuk mengkaji ulang ide dan pemikiran tersebut.

Kemajemukan bukan hal yang baru bagi bangsa Indonesia. Jauh sebelum kita mengenal nama Indonesia—kala itu kita sebut tanah ini dengan sebutan Nusantara—sudah ada keberagaman baik suku maupun kepercayaan.

Setidaknya ada dua kerajaan besar yang perkasa di masa lalu yang bisa mewakili kedigdayaan Nusantara kala itu. Salah satunya kerajaan Sriwijaya yang dikenal akan kebesarannya dengan mengunggulkan konsep maritim dalam sistem perekonomiannya. Ada pula kerajaan Majapahit yang dikenal unggul dengan mengandalkan sistem ekonomi agraris.

Menarik sekali tatkala memperhatikan kebesaran kedua kerajaan ini. Dua kerajaan yang digdaya secara ekonomi namun pada ujungnya kedua kerajaan ini justru mengalami kehancuran oleh karena perebutan kekuasaan dan perpecahan. Dari sini kita dapat belajar bahwa perpecahan dan ego kelompok merupakan sebab yang paling dominan bagi hancurnya sebuah bangsa.

Kita tahu Indonesia yang berdaulat dan merdeka seperti hari ini merupakan hasil perjuangan beragam pemikir dan pejuang yang memiliki latar belakang suku, agama dan ideologi yang jelas-jelas berbeda satu sama lain.

Dengan menjunjung persatuanlah akhirnya kemerdekaan Indonesia berhasil diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Ada sebuah gerakan bersama melawan praktik kolonialisme dan imperialisme yang mengekang dan membelenggu bangsa Indonesia sehingga tidak bisa berkembang sesuai kemauannya sendiri.

Pada perkembangannya kitapun mengenal sistem globalisasi sebagai suatu proses dalam peradaban di saat ini yang memegang peranan dalam sendi-sendi kehidupan dunia.

Batasan-batasan menjadi samar mulai dari pergaulan antar bangsa, perekonomian, politik bahkan budaya. Globalisasi membuka peluang dalam mensubstitusi budaya, pemikiran dan sistem kebijaksanaan ekonomi lokal. Tahapan ini dilalui dengan serangan budaya yang begitu gencar memasuki alam bawah sadar kita.

Kemudian serangan melalui sistem perekonomian juga turut terjadi. Ekonomi sebagai tulang punggung negara dirasuki dengan sistem ekonomi kapitalis yang merongrong kekuatan ekonomi secara nasional.

Melalui hutang, asing datang untuk mulai menguasai aspek-aspek paling vital dalam perekonomian nasional bahkan internasional. Aspek utama sistem ekonomi kapitalisme ini setidaknya harus disertai dengan eksistensi ruang dan buruh. Ruang sebagai tempat eksploitasi seperti tanah, laut dan udara. Buruh sebagai pekerja yang akan dieksploitasi tenaganya.

Berbicara politik tidak akan lepas dari budaya dan sistem ekonomi. Politik memang sebagai panglima namun panglima tidak akan kuat tanpa anak buah. Jadi tidak heran jika politik mudah sekali untuk digoncang, diarahkan bahkan diputarbalikkan oleh kepentingan.

Berdasarkan data yang dilansir BPS pada tahun 2016, jumlah total populasi Indonesia sekitar 255 juta penduduk. Dengan data tersebut Indonesia adalah negara berpenduduk terpadat nomor empat di dunia. Komposisi etnis di Indonesia amat bervariasi karena negeri ini memiliki ratusan ragam suku dan budaya.

Keberagaman ini tentu saja harus menjadi perhatian pemerintah dalam membuat kebijakan, melakukan pembangunan bahkan dalam membuat program dan perencanaan, karena setiap daerah tidak memiliki geografis dan kondisi yang sama. Dengan demikian kebutuhan yang diperlukan juga sudah pasti berbeda satu sama lain.

Lantas apa yang harus dilakukan dengan konsep persatuan Indonesia?

Pertama, kita harus menyadari penuh bahwa Indonesia bukanlah satu, tetapi merupakan kesatuan dari beragam suku, bahasa, agama, adat istiadat bahkan letak geografis yang sangat beragam. Dengan kesadaran tersebut sebaiknya kita menyadari dan haruslah bersyukur atas keberagaman yang indah dan saling melengkapi dalam bingkai NKRI. Atas kesadaran itu pula kita akan menjadi keutuhan bahkan dalam keberagaman karena itu adalah kekayaan yang kita miliki.

Hal yang kedua, menjaga keberagaman sebagai kekayaan dan kekuatan bangsa. Kadangkala, bias saja terbersit dalam pikiran kita bahwa seragam mungkin lebih mudah diatur dan lebih mudah dikendalikan. Namun coba kita perhatikan pada saat perjuangan kemerdekaan, jika perjuangan yang dilakukan hanya melalui satu jalur saja, anggap saja dengan diplomasi tingkat atas, mungki saja Indonesia belum merdeka sampai hari ini.

Dengan keberagaman suku, bangsa bahkan pengetahuan, para pendiri bangsa ini sadar bahwa mereka harus berbagi peran dengan baik. Sehingga ada yang bergerak di kalangan masyarakat, seperti Sutan Syahrir dan Tan Malaka.

Sedangkan Sukarno dan Hatta melakukan diplomasi tingkat atas. Bayangkan saja jika pembagian peran tersebut gagal, tentu akan terjadi kekacauan karena tindakan yang dilakukan tidak sinkron.

Hal itu bisa sinergis bahkan dengan penggunaan teknologi yang seadanya pada zaman itu. Itu hanya garis besarnya saja, tentu masih banyak gerakan lainnya yang dilakukan baik secara terpusat maupun di daerah.

Hal ketiga, kita harus memiliki tujuan yang sama. Mungkin pada saat perjuangan kemerdekaan akan mudah untuk bersatu dengan tujuan untuk merdeka. Namun sekarang tujuan negara semakin bias dengan banyaknya paham-paham dan ide yang masuk dari luar.

Bukannya ingin mengatakan bahwa ide luar tersebut tidak baik, namun jika ingin ditanamkan di Indonesia tentu harus melihat dari berbagai sisi dulu. Karena merawat Indonesia bukanlah hal yang mudah.

Hal utama lainnya yang harus disadari bahwa Indonesia lahir dari persatuan. Persatuan itu jualah yang kelak akan membawa kita kepada cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Mari kita satukan cita-cita kita bersama demi terwujudnya kesejahteraan untuk segenap bangsa Indonesia.

Tulisan ini di posting pada : https://jejaringbali.com/2016/10/27/bersatu-tidak-harus-menjadi-satu/

pada 27 Oktober 2016

*Penulis adalah Ketua GMNI Cabang Kabupaten Sumedang

Periode 2014-2016

Tinggalkan Balasan

Navigasi pos

Tinggalkan komentar

Information

This entry was posted on Desember 19, 2016 by in kelompok menulis, rubrik media, Uncategorized.

Masukkan alamat surat elektronik Anda untuk mengikuti blog ini dan menerima pemberitahuan tentang tulisan baru melalui surat elektronik.

Bergabung dengan 50 ribu pelanggan lain

Visitors

free counters